KPK Makin Rusak – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dulunya di anggap sebagai benteng terakhir dalam perang melawan korupsi, kini hanya tinggal nama. Kerusakan itu bukan tiba-tiba terjadi. Ia perlahan namun pasti di busukkan dari dalam, hingga klimaksnya: penyeretan lembaga ini ke dalam Danantara ekosistem digital pemerintah yang penuh kontroversi.
Danantara bukan sekadar platform digital biasa. Ia adalah simbol pengawasan total, alat kontrol kekuasaan terhadap semua institusi yang di anggap bisa menjadi ancaman. Dan ketika KPK di masukkan ke dalam jeratan ini, itu bukanlah langkah administratif. Itu adalah peringatan: lembaga ini tak lagi bebas. Ia telah di jinakkan.
Masuknya KPK Makin Rusak ke Danantara: Awal dari Akhir
Di permukaan, integrasi ke Danantara di bungkus dengan narasi efisiensi dan modernisasi. Tapi jika di telusuri lebih dalam, semua ini berujung pada satu hal: kendali. KPK yang dulu independen, yang bisa menyeret jenderal, menteri, bahkan tokoh besar ke meja hijau, kini harus menyesuaikan langkahnya dengan arahan sistem yang di kuasai oleh rezim.
Baca Berita Lainnya Juga Hanya Di scooplog.com
Melalui Danantara, semua data dan aktivitas KPK bisa di awasi secara real-time. Apakah itu demi transparansi? Tidak. Ini adalah bentuk pengawasan yang menyeluruh sebuah borgol digital yang membatasi ruang gerak penyidik, mereduksi semangat juang, dan mematikan keberanian untuk melawan kekuasaan.
Dan tidak mengherankan bila belakangan ini jumlah OTT (Operasi Tangkap Tangan) anjlok, penyidikan besar mandek, dan kasus-kasus kakap tenggelam begitu saja. KPK bukan tidak tahu. Mereka hanya tidak bisa lagi bergerak bebas.
Tekanan dari Atas, Tekanan dari Dalam
Masuknya KPK ke Danantara adalah hasil dari serangkaian upaya sistematis untuk menghancurkan independensi lembaga ini. Di mulai dari revisi UU KPK yang memandulkan kewenangan mereka, berlanjut dengan pemilihan pimpinan yang kontroversial, dan kini di tutup dengan pemusatan kontrol data melalui platform milik negara.
Tidak hanya dari luar, kehancuran juga datang dari dalam. Banyak pegawai lama yang berintegritas tinggi di singkirkan lewat tes wawasan kebangsaan yang absurd. Mereka di gantikan oleh sosok-sosok baru yang tak jelas rekam jejaknya, loyal bukan pada hukum, tapi pada penguasa.
KPK Makin Rusak kini bak boneka yang di jalankan dari balik layar. Publik hanya melihat kulit luarnya saja: logo, gedung megah, konferensi pers. Tapi ruhnya telah hilang. Apa arti KPK jika ia tak lagi bisa menolak intervensi politik? Jika ia tak lagi bisa menjaga rahasia penyidikan dari tangan-tangan kotor kekuasaan?
Danantara: Bukan Transformasi, Tapi Penyeragaman
Danantara tidak menawarkan transformasi. Ia adalah proyek penyeragaman, tempat semua lembaga di paksa tunduk dalam satu ekosistem yang di kendalikan pusat. Dalam konteks KPK, ini berarti pemangkasan independensi yang dulunya menjadi fondasi utama lembaga ini.
Kita bicara tentang KPK yang dulunya punya ruang gelap untuk menyimpan data penyelidikan, kini dipaksa menyerahkan semuanya ke satu server nasional. Siapa yang bisa menjamin data itu tidak bocor? Siapa yang bisa memastikan hasil penyadapan tidak dimanfaatkan oleh orang-orang yang justru menjadi target?
KPK kini telanjang. Dan telanjang di depan penguasa bukanlah bentuk transparansi, melainkan penyerahan diri.
Membunuh KPK Tanpa Harus Membubarkan
Inilah cara paling efektif membunuh KPK tanpa harus membubarkannya secara resmi. Publik tak akan mengamuk karena secara formal lembaga itu masih ada. Tapi fungsinya di kosongkan, nyalinya dikikis, dan keberaniannya di mutilasi oleh sistem.
Danantara hanyalah salah satu alat. Di baliknya ada politik, ada oligarki, dan ada kepentingan jangka panjang untuk menghapus harapan rakyat akan keadilan sejati. Semua di bungkus rapi dalam jargon-jargon digitalisasi, efisiensi, dan integrasi nasional.
Ironisnya, semua ini di lakukan oleh rezim yang dulu bersumpah akan memperkuat pemberantasan korupsi. Tapi nyatanya, merekalah yang menyematkan pisau ke jantung KPK perlahan, dalam diam, dan nyaris tanpa perlawanan.