Akhir Drama Diana – Drama yang menyeret nama Diana, seorang pengusaha lembaga kursus dan pelatihan kerja di Surabaya, akhirnya menemui titik akhir. Perempuan yang sempat viral karena menahan ijazah para alumninya demi dalih “jaminan tanggung jawab” itu harus berhadapan langsung dengan Wakil Wali Kota Surabaya, Armuji, yang tak tinggal diam melihat praktik semena-mena tersebut.
Bertahun-tahun praktik penahanan ijazah menjadi momok di dunia pendidikan non-formal dan pelatihan kerja. Banyak peserta didik terpaksa mengalah, menerima perlakuan tak adil demi mendapatkan pengalaman kerja atau selembar sertifikat. Tapi Diana, dengan dalih “komitmen kerja”, menjadikan penahanan ijazah sebagai alat kekuasaan. Tak ada ruang negosiasi, tak ada jalan damai, kecuali tuntutan pembayaran sejumlah denda yang bahkan melebihi standar kemanusiaan.
Saat Armuji Turun Tangan: Benturan Dua Dunia
Awalnya kasus ini hanya bergema di media sosial. Keluhan para alumni yang tidak bisa melanjutkan karier karena ijazah mereka di tahan mencuat ke publik, lengkap dengan bukti tangkapan layar percakapan dan surat pernyataan “kesepakatan” yang di paksakan. Namun ketika nama Armuji, Wakil Wali Kota Surabaya, mulai di sebut-sebut ikut turun tangan, sorotan publik membesar.
Armuji, dengan gaya bicara blak-blakan dan sikap yang tak suka basa-basi, langsung melakukan inspeksi mendadak ke tempat kursus milik Diana. Dengan nada tinggi, ia memerintahkan agar semua ijazah di kembalikan kepada pemiliknya. “Tidak ada aturan negara yang membolehkan menahan ijazah! Ini pelecehan terhadap hak pendidikan warga!” ujarnya lantang di hadapan media.
Diana pun tidak tinggal diam. Ia membalas dengan narasi bahwa semua peserta telah menyetujui kontrak kerja, bahwa penahanan ijazah merupakan bentuk proteksi lembaga dari kerugian moral dan finansial. Namun publik melihat ini sebagai pembenaran yang absurd. Alih-alih memperbaiki sistem pelatihan, Diana malah mempertontonkan arogansi.
Tekanan Publik dan Pertaruhan Nama Baik
Aksi Armuji di sambut gegap gempita oleh publik. Tapi ia juga di hujani kritik dari sebagian kalangan yang menilai langkahnya terlalu “populis”. Namun Armuji berdiri teguh. “Kalau kita biarkan seperti ini, besok-besok semua pengusaha bisa main tahan ijazah seenaknya. Negara ini bukan milik pemilik modal, tapi milik rakyat,” tegasnya dalam konferensi pers.
Sementara Diana kian terdesak. Lembaga-lembaga advokasi hukum mulai turun tangan, menawarkan bantuan kepada alumni korban penahanan ijazah. Bahkan Ombudsman ikut menyelidiki dugaan pelanggaran slot resmi dan potensi pelanggaran HAM dalam praktik lembaga milik Diana.
Setelah tekanan bertubi-tubi, Diana akhirnya menyerah. Dalam pernyataan terbuka, ia menyatakan siap mengembalikan semua ijazah tanpa syarat dan akan mengevaluasi ulang sistem operasional lembaganya. Tapi langkah ini di anggap banyak pihak terlalu terlambat. Kerusakan citra sudah terjadi. Nama baiknya sebagai pengusaha pendidikan kini terlanjur tercoreng.
Simbol Perlawanan terhadap Pelecehan Pendidikan
Kasus ini menjadi simbol perlawanan masyarakat terhadap arogansi lembaga pendidikan yang menjadikan “kesempatan” sebagai alat pemerasan. Dalam masyarakat yang masih menjunjung tinggi ijazah sebagai alat mobilitas sosial, penahanan dokumen itu bukan sekadar tindakan administratif—melainkan perampasan masa depan.
Armuji, dalam konteks ini, muncul sebagai sosok pembela rakyat. Meski banyak yang menganggap aksinya terlalu teatrikal, tak bisa di mungkiri bahwa keberaniannya membuka jalur diskusi tentang bagaimana seharusnya lembaga pendidikan bersikap.
Kini, ratusan alumni Diana sudah bisa mengakses kembali haknya yang selama ini di rampas. Tapi yang lebih penting, peristiwa ini menjadi alarm keras bagi seluruh institusi pelatihan dan pendidikan non-formal: berhentilah memperlakukan peserta didik sebagai komoditas. Dunia harus kembali ke esensinya: mencerdaskan, bukan menindas.